denyutjambi.com, JAMBI – Mengenal profil sosok Dr. H Muhammad Ridwansyah SE, M.Sc, yang lahir di Kota Bangko, 14 Juni 1968. Dia pernah terpilih sebagai mahasiswa teladan tingkat nasional 1990. Sebagai dosen Unja, dia pernah menjadi dosen teladan tingkat nasional 2010.
Karirnya juga melesat. Periode 2013-2018, Ridwan terpilih sebagai Chief Economist MCA Indonesia, Bappenas. Lalu, dia menjadi Natural Resource Economist pada Global Green Growth Institute (2018-2019). Kini, Ridwan dipercaya sebagai Senior Technical Adviser di Bank Dunia, untuk Indonesia Program.
Ridwan sering mengikuti pelatihan tingkat dunia, semisal Georgetown Leadership Seminar di Georgetown University, Amerika Serikat; Economic Analysis and Monitoring & Evaluation di MCC University, Washington DC, Amerika Serikat; dan Sustainable Forest Governance di Hessen, Jerman (2014).
Dirinya juga seorang aktivis lingkungan, dan dia adalah Ketua Pembina Yayasan Palka Agrahayati. Selain itu, Ridwan juga menjadi Ketua Pembina Yayasan Fajar Taruna Insani, sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan pondok pesantren.
CERITA PERJALANAN HIDUPNYA
“Nak, jika engkau mau menuntut ilmu, ke langit pun kami sekolahkan”. Itulah sebaris kalimat yang diucapkan ibunya, saat dia menerima ijazah dari SMPN 1 Kota Bangko, Jambi. Bak mantera sakti, kata-kata itu menjadi pelecut Muhammad Ridwansyah bersemangat menuntut ilmu.
Setamat SMP, Ridwan bersekolah di SMAN 3 Jambi. Dari situ, dia melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Ridwan menempuh studi S2 di University Philippines Los Banos (UPLB) dan S3 di IPB.
Ketika kecil, Ridwan tak pernah merasa dirinya pintar. Namun, entah kenapa, setiap kali dia bersepeda dan ada orang yang menyetopnya, “Orang itu selalu bilang ke saya: ‘Oi, kau ni padek nian’,” ujar Ridwan.
Mohd. Sareh, ayah kandung Ridwan, adalah pegawai negeri di Bangko yang bersal dari Desa Tuo dan Desa Koto Rami, dan hobinya masuk keluar hutan. Ketika kecil, Ridwan pernah diajak ayahnya ke ladang menyeberang sungai menggunakan biduk melewati hutan lebat.
Namun, saat hendak pulang, perahu yang membawa mereka menyeberangi sungai sudah tak ada. Dengan berani, ayahnya berenang menyeberangi sungai, untuk mengambil perahu lain yang ada di sisi seberang. “Ayah saya mengajarkan kepada saya untuk pantang menyerah dalam kondisi apapun,” tuturnya.
Ibunya Rohana, adalah pedagang yang biasa mengambil pakaian di Pasar Bangko, lalu menjualnya lagi secara kredit ke orang-orang di sekitarnya. Dari sang ibu inilah, Ridwan mengaku menitis jiwa bisnis pada dirinya.
Kutukan Sumber Daya Alam
Ridwan merasa bersyukur tanah kelahirannya Jambi dianugerahi bentang alam yang lengkap dan memiliki kekayaan sumber daya alam dan budaya yang mengagumkan. Namun, Ridwan mewanti-wanti, Jambi tak boleh terlena. Sumber daya alam lambat laun akan habis. Ridwan khawatir suatu saat Jambi akan menerima “kutukan sumber daya alam” (natural resource curse – NRC) akibat ekstraksi kekayaan alam secara tak terkendali.
Ridwan menyoroti tingkat pertumbuhan ekonomi Jambi dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Pada masa pemerintahan Gubernur Hasan Basri Agus, pertumbuhan ekonomi Jambi rata-rata mencapai 7,6 persen per tahun, namun dengan angka Incrimental Capital Output Ratio (ICOR) mencapai 5,71. Angka ini berarti, untuk menaikkan satu unit produksi, diperlukan investasi sebanyak 5,71 unit. “Ini menunjukkan Jambi berada di luar jalur pertumbuhan ekonomi yang optimal. Sebab, kisaran angka ideal adalah sebesar tiga persen,” tutur Ridwan yang juga seorang ekonom.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Jambi sangat bergantung kepada hasil ekspansi sumber daya lahan (economic expansive) yang berbasis ekonomi pasar. “Karakter ekonomi seperti ini sudah harus ditinggalkan karena rawan terjadi shock dan sangat dipengaruhi gejolak harga komoditas di tingkat global,” ujar Ridwan.
Ekspansi sumber daya lahan di Jambi ditandai dengan komersialisasi tanaman monokultur, seperti kelapa sawit, karet, dan kopi. Hal ini secara masif telah menggusur ekonomi subsisten. Padahal, ekonomi subsisten masih diterapkan di pedesaan Jambi sebagai bagian dari budaya lokal, terutama untuk ketahanan pangan dan farmasi.
Dari berbagai laporan, Ridwan mencatat sejumlah hal. Hingga 2019, terdapat 160 ribu hektar perkebunan sawit ilegal yang berada di dalam kawasan hutan. Izin Usaha Pertambangan operasi produksi batubara yang telah diberikan mencapai lebih dari 415 ribu hektar di seluruh kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.
Akibat economic expansive jelas Ridwan, Jambi rentan didera berbagai masalah eksternal, seperti perubahan iklim, kebakaran hutan dan lahan, longsor banjir, kekeringan, dan serangan hama yang masif. Tak kalah ngerinya pula, Jambi lekat dengan masalah ketimpangan dan konflik social. Pada tahun 2018, telah terjadi 180 konflik agraria di Provinsi Jambi.
Bagi Ridwan, itu semua adalah ongkos mahal yang harus dibayar dari dampak ini seperti melemahnya fiskal Provinsi Jambi karena anggaran dialokasikan pada kegiatan yang tidak produktif, seperti membiayai rehabilitas jalan yang rusak akibat beban truk batubara yang masif serta penanganan dan pemulihan pasca bencana.
Untuk itu, Ridwan menyodorkan gagasan yang dia beri nama GEHIDI (Green Economy-Hilirisasi-Digitalisasi). “Gagasan ini sebagai upaya menjadikan ekonomi Jambi yang maju, berkualitas, dan berkelanjutan,” ucapnya.
Green Economy bertujuan menghasilkan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) serta standar hidup yang berkelanjutan dan adil. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pembangunan ekonomi di Jambi harus betul-betul didasarkan pada tata ruang wilayah yang baik serta penerapan strategi dual track economy, yakni menyelaraskan antara ekonomi pasar dan ekonomi subsisten.
Hilirisasi adalah upaya pengembangan industri yang menghasilkan bahan baku (industri hulu) menjadi industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi (industri hilir). Selama ini, ujar Ridwan, Jambi baru memiliki industri hulu berupa industry karet remah (Crumb Rubber), Crude Palm Oil (CPO), Crude Palm Kernel Oil (CPKO).
Untuk menopang hilirisasi, butuh dukungan sektor energi yang kuat. “Jambi harus segera merealisasikan pembangunan pembangkit listrik terutama yang menggunakan sumber energi terbarukan diantaranya Pembangkit Listrik Tenaga Biomas (PLTBm) yang sudah lama direncanakan,” tutur Ridwan.
Digitalisasi, ujar Ridwan, sudah menjadi sebuah keniscayaan. Semua bidang harus bertransformasi ke arah digital, termasuk pariwisata. Untuk itu, perlu segera dibangun sebuah platform para pihak yang terkait dengan transformasi menuju digitalisasi ini.(***/nto)